my picture

my picture
yes asli buatan anak negri

Jumat, 30 Maret 2012

DEMOKRASI YANG ADA DIDUNIA

    

Demokrasi Pancasila

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang mengutamakan musyawarah mufakat tanpa oposisi [1] dalam doktrin Manipol USDEK disebut pula sebagai demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang berada dibawah komando Pemimpin Besar Revolusi kemudian dalam doktrin repelita yang berada dibawah pimpinan komando Bapak Pembangunan arah rencana pembangunan daripada suara terbanyak dalam setiap usaha pemecahan masalah atau pengambilan keputusan, terutama dalam lembaga-lembaga negara.[2]
Prinsip dalam demokrasi Pancasila sedikit berbeda dengan prinsip demokrasi secara universal[3]. Ciri demokrasi Pancasila[3]:
  • pemerintah dijalankan berdasarkan konstitusi
  • adanya pemilu secara berkesinambungan
  • adanya peran-peran kelompok kepentingan
  • adanya penghargaan atas HAM serta perlindungan hak minoritas.
  • Demokrasi Pancasila merupakan kompetisi berbagai ide dan cara untuk menyelesaikan masalah.
  • Ide-ide yang paling baik akan diterima, bukan berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional dengan mekanisme kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara dan penyelengaraan pemerintahan berdasarkan konstitusi yaitu Undang-undang Dasar 1945[4]. Sebagai demokrasi pancasila terikat dengan UUD 1945 dan pelaksanaannya harus sesuai dengan UUD 1945.[4]

Daftar isi

 [sembunyikan

[sunting] Prinsip Demokrasi Pancasila

Prinsip pokok demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut[3]:
  1. Perlindungan terhadap hak asasi manusia
  2. Pengambilan keputusan atas dasar musyawarah
  3. Peradilan yang merdeka berarti badan peradilan (kehakiman) merupakan badan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lain contoh Presiden, BPK, DPR atau lainnya
  4. adanya partai politik dan organisasi sosial politik karena berfungsi untuk menyalurkan aspirasi rakyat
  5. Pelaksanaan Pemilihan Umum
  6. Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (pasal 1 ayat 2 UUD 1945)
  7. Keseimbangan antara hak dan kewajiban
  8. Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan YME, diri sendiri, masyarakat, dan negara ataupun orang lain
  9. Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional
  10. Pemerintahan berdasarkan hukum, dalam penjelasan UUD 1945 dikatakan[3]:
a. Indonesia ialah negara berdasarkan hukum (rechtstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat) b. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak terbatas) c. Kekuasaan yang tertinggi berada di tangan rakyat.

[sunting] Tujuh Sendi Pokok

Dalam sistem pemerintahan demokrasi pancasila terdapat tujuh sendi pokok yang menjadi landasan, yaitu[5]:
  • 1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan hukum.
Seluruh tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum. Persamaan kedudukan dalam hukum bagi semua warga negara harus tercermin di dalamnya.
Pemerintah berdasarkan sistem konstitusional (hukum dasar) dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang mutlak tidak terbatas). Sistem konstitusional ini lebih menegaskan bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dikendalikan atau dibatasi oleh ketentuan konstitusi.
  • 3. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi
Seperti telah disebutkan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 pada halaman terdahulu, bahwa (kekuasaan negara tertinggi) ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Dengan demikian, MPR adalah lembaga negara tertinggi sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Sebagai pemegang kekuasaan negara yang tertinggi MPR mempunyai tugas pokok, yaitu[5]:
Menetapkan UUD;
Menetapkan GBHN; dan
Memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden
Wewenang MPR, yaitu[5]:
  • Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara lain, seperti penetapan GBHN yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden
  • Meminta pertanggungjawaban presiden/mandataris mengenai pelaksanaan GBHN
  • Melaksanakan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden dan Wakil Presiden
  • Mencabut mandat dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya apabila presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar haluan negara dan UUD;
  • Mengubah undang-undang.
  • 4. Presiden adalah penyelenggaraan pemerintah yang tertinggi di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Di bawah MPR, presiden ialah penyelenggara pemerintah negara tertinggi. Presiden selain diangkat oleh majelis juga harus tunduk dan bertanggung jawab kepada majelis. Presiden adalah Mandataris MPR yang wajib menjalankan putusan-putusan MPR.
  • 5. Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi DPR mengawasi pelaksanaan mandat (kekuasaan pemerintah) yang dipegang oleh presiden dan DPR harus saling bekerja sama dalam pembentukan undang-undang termasuk APBN. Untuk mengesahkan undang-undang, presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Hak DPR di bidang legislatif ialah hak inisiatif, hak amandemen, dan hak budget.
Hak DPR di bidang pengawasan meliputi[5]:
  • Hak tanya/bertanya kepada pemerintah
  • Hak interpelasi, yaitu meminta penjelasan atau keterangan kepada pemerintah
  • Hak Mosi (percaya/tidak percaya) kepada pemerintah
  • Hak Angket, yaitu hak untuk menyelidiki sesuatu hal
  • Hak Petisi, yaitu hak mengajukan usul/saran kepada pemerintah.
  • 6 Menteri Negara adalah pembantu presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR
Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan menteri negara. Menteri ini tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi kepada presiden. Berdasarkan hal tersebut, berarti sistem kabinet kita adalah kabinet kepresidenan/presidensil.
Kedudukan Menteri Negara bertanggung jawab kepada presiden, tetapi mereka bukan pegawai tinggi biasa, menteri ini menjalankan kekuasaan pemerintah dalam prakteknya berada di bawah koordinasi presiden.
Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi ia bukan diktator, artinya kekuasaan tidak tak terbatas. Ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Kedudukan DPR kuat karena tidak dapat dibubarkan oleh presiden dan semua anggota DPR merangkap menjadi anggota MPR. DPR sejajar dengan presiden[5].

[sunting] Fungsi Demokrasi Pancasila

Adapun fungsi demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut[6]:
  • Menjamin adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan bernegara
Contohnya:
Ikut menyukseskan Pemilu
Ikut menyukseskan pembangunan
Ikut duduk dalam badan perwakilan/permusyawaratan.
  • Menjamin tetap tegaknya negara RI
  • Menjamin tetap tegaknya negara kesatuan RI yang mempergunakan sistem konstitusional
  • Menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada Pancasila
  • Menjamin adanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang antara lembaga negara
  • Menjamin adanya pemerintahan yang bertanggung jawab,
Contohnya:
Presiden adalah mandataris MPR,
Presiden bertanggung jawab kepada MPR.

[sunting] Demokrasi Deliberatif

Dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dan sila ke-4 Pancasila, dirumuskan bahwa “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”[7]. Dengan demikian berarti demokrasi Pancasila merupakan demokrasi deliberatif[7].
Dalam demokrasi deliberatif terdapat tiga prinsip utama[7]:
  1. prinsip deliberasi, artinya sebelum mengambil keputusan perlu melakukan pertimbangan yang mendalam dengan semua pihak yang terkait.
  2. prinsip reasonableness, artinya dalam melakukan pertimbangan bersama hendaknya ada kesediaan untuk memahami pihak lain, dan argumentasi yang dilontarkan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.
  3. prinsip kebebasan dan kesetaraan kedudukan, artinya semua pihak yang terkait memiliki peluang yang sama dan memiliki kebebasan dalam menyampaikan pikiran, pertimbangan, dan gagasannya secara terbuka serta kesediaan untuk mendengarkan.
Demokrasi yang deliberatif diperlukan untuk menyatukan berbagai kepentingan yang timbul dalam masyarakat Indonesia yang heterogen[7]. Jadi setiap kebijakan publik hendaknya lahir dari musyawarah bukan dipaksakan[7]. Deliberasi dilakukan untuk mencapai resolusi atas terjadinya konflik kepentingan[7]. Maka diperlukan suatu proses yang fair demi memperoleh dukungan mayoritas atas sebuah kebijakan publik demi suatu ketertiban sosial dan stabilitas nasional[7].

[sunting] Demokrasi Pancasila dalam Beberapa Bidang

Demokrasi Pancasila menuntut rakyat menjadi subjek dalam pembangunan ekonomi.[7] Pemerintah memberikan peluang bagi terwujudnya hak-hak ekonomi rakyat dengan menjamin tegaknya prinsip keadilan sosial sehingga segala bentuk hegemoni kekayaan alam atau sumber-sumber ekonomi harus ditolak agar semua rakyat memiliki kesempatan yang sama dalam penggunaan kekayaan negara.[7] dalam implikasi pernah diwujudkan dalam Program ekonomi banteng tahun 1950, Sumitro plan tahun 1951, Rencana lima tahun pertama tahun 1955 s.d. tahun 1960, Rencana delapan tahun dan terakhir dalam Repelita kesemuanya malah menyuburkan korupsi dan merusaknya sarana produksi.[7] Hal ini ditujukan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 dan sila ke-5 Pancasila.[7] Maka secara kongkrit, rakyat berperan melalui wakil-wakil rakyat di parlemen dalam menentukan kebijakan ekonomi.[7]
  • Bidang kebudayaan nasional
Demokrasi Pancasila menjamin adanya fasilitasi dari pihak pemerintah agar keunikan dan kemajemukan budaya Indonesia dapat tetap dipertahankan dan ditumbuhkembangkan sehingga kekayaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat terpelihara dengan baik.[7] Terdapat penolakan terhadap uniformitas budaya dan pemerintah menciptakan peluang bagi berkembangnya budaya lokal sehingga identitas suatu komunitas mendapat pengakuan dan penghargaan.[7]

Demokrasi liberal

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Demokrasi liberal (atau demokrasi konstitusional) adalah sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah.[1] Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi.[2]
Demokrasi liberal pertama kali dikemukakan pada Abad Pencerahan oleh penggagas teori kontrak sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau. Semasa Perang Dingin, istilah demokrasi liberal bertolak belakang dengan komunisme ala Republik Rakyat. Pada zaman sekarang demokrasi konstitusional umumnya dibanding-bandingkan dengan demokrasi langsung atau demokrasi partisipasi.
Demokrasi liberal dipakai untuk menjelaskan sistem politik dan demokrasi barat di Amerika Serikat, Britania Raya, Kanada. Konstitusi yang dipakai dapat berupa republik (Amerika Serikat, India, Perancis) atau monarki konstitusional (Britania Raya, Spanyol). Demokrasi liberal dipakai oleh negara yang menganut sistem presidensial (Amerika Serikat), sistem parlementer (sistem Westminster: Britania Raya dan Negara-Negara Persemakmuran) atau sistem semipresidensial (Perancis).
== Referensi ==
  1. ^ Blackwell Dictionary of Modern Social Thought, Blackwell Publishing 2003, p. 148
  2. ^ "Democracy and Citizenship: Glossary". American politics. The University of Texas at Austin. Diakses pada 9 Agustus 2004.

Krisis dan kritik terhadap model demokrasi liberal sebenarnya sudah jauh hari diingatkan oleh beberapa kalangan. Kritik terhadap demokrasi datang dari tradisi Marxisme – utamanya Lenin – yang menyebut bahwa demokrasi sebenarnya adalah siasat kaum borjuis. Lenin mengolok demokrasi liberal sebagai kediktatoran kaum borjuis (the dictatorship of borguise), dimana instrumen dan sumberdaya kekuasaan yang berupa hukum, ekonomi dan politik terkonsentrasi pada segelintir kelompok borjuis saja. Karena itu, alih-alih berpihak kepada kesejahteraan proletar, model demokrasi ini hanya akan menghasilkan model politik massa mengambang serta lahirnya oligarkh dan teknokrat politik yang enggan berbaur dan menjawab tuntutan serta penderitaan rakyat. Tidak hanya pada tradisi marxisme, kritik terhadap demokrasi liberal juga datang dari kalangan pendukungnya sendiri. Ironi ini bermula dari teoretisi demokrasi Joseph Schumpeter yang menafsirkan demokrasi hanya terbatas sebagai mekanisme memilih pemimpin melalui pemilu yang kompetitif dan adil. Senada dengan itu, Samuel P. Huntington, sama naifnya dengan Schumpeter, juga menyanyikan nada yang seirama. Bagi Huntington, kualitas demokrasi diukur oleh pemilihan umum yang kompetitif, adil, jujur dan berkala dan partisipasi rakyat yang tinggi selama pemilu. Cita-cita mulia demokrasi direduksi menjadi sebatas hal yang prosedural dan teknis. Akibatnya, demokrasi hanya diwujudkan dalam pemilu. Suara rakyat dibutuhkan dan ditambang hanya ketika pemilu datang. Setelah itu, suara rakyat ditendang dan dikhianati; kebijakan publik tidak lagi memihak rakyat, harga-harga semakin mahal, penggusuran dimana-mana, BBM dinaikkan, pendidikan dan kesehatan dikomersialisasikan, kemiskinan dan pengangguran tetap saja berkembang biak. Demokrasi, dalam cita-cita yang sesungguhnya, perlahan-lahan mati. Dalam konteks ini kritik Geoff Mulgan terhadap paradoks demokrasi sangat tepat dan jitu. Ada tiga hal pokok dalam kritiknya terhadap demokrasi. Pertama, demokrasi cenderung melahirkan oligarki dan teknokrasi. Bagaimana mungkin tuntutan rakyat banyak bisa diwakili dan digantikan oleh segelintir orang yang menilai politik sebagai karier untuk menambang keuntungan finansial? Kedua, prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, kebebasan dan kompetisi juga telah dibajak oleh kekuatan modal. Yang disebut keterbukaan, hanya berarti keterbukaan untuk berusaha bagi pemilik modal besar, kebebasan artinya kebebasan untuk berinvestasi bagi perusahaan multinasional, kompetisi dimaknai sebagai persaingan pasar bebas yang penuh tipu daya. Ketiga, media yang mereduksi partisipasi rakyat. Kelihaian media mengemas opini publik membuat moralitas politik menjadi abu-abu, juga cenderung menggantikan partisipasi rakyat. Ini berujung pada semakin kecil dan terpinggirkannya ‘partisipasi langsung’ dan ‘kedaulatan langsung’ rakyat. Tidak hanya itu, sesat pikir kaum demokrasi prosedural juga karena ia menyembunyikan fakta tentang negara dan kekuasaan. Negara, seperti kita semua maklum, adalah tempat akses dan relasi ekonomi, politik, hukum berlangsung. Karena itu, sistem demokrasi juga berhadapan dengan masalah ekonomi. Negara dan sistem demokrasi juga berhubungan dengan masalah bagaimana menciptakan kesejahteraan, bagaimana menjalankan dan mengatur finansial sebuah negara. Karena itu negara membutuhkan sebuah persekutuan yang taktis dan cepat. Karena hanya model ekonomi kapitalisme yang tersedia – yang bertumpu pada kekuatan modal besar -, maka demokrasi membutuhkan kapitalisme, begitu juga sebaliknya. Dari sini, persekutuan najis itu mulai tercipta. Di ujung jalan, tampaknya kapitalismelah yang berkuasa. Atas nama kemajuan dan perdagangan bebas, ia mulai mengangkangi negara. Atas nama pertumbuhan ekonomi, ia mulai menyiasati demokrasi. Lalu muncullah makhluk lama dengan baju yang baru: neoliberalisme. Sebuah makhluk yang mengendap-endap muncul, lalu menjalankan taktik “silent takeover”. Istilah terakhir ini dipinjam dari Noreena Heertz, artinya kurang lebih sebuah penjajahan yang terselubung. 

Demokrasi terpimpin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Demokrasi terpimpin, juga disebut demokrasi terkelola[1], adalah istilah untuk sebuah pemerintahan demokrasi dengan peningkatan otokrasi. Pemerintahan negara dilegitimasi oleh pemilihan umum yang walaupun bebas dan adil, digunakan oleh pemerintah untuk melanjutkan kebijakan dan tujuan yang sama [2]. Atau, dengan kata lain, pemerintah telah belajar untuk mengendalikan pemilihan umum sehingga pemilih dapat melaksanakan semua hak-hak mereka tanpa benar-benar mengubah kebijakan publik. Walaupun mengikuti prinsip-prinsip dasar demokrasi, dapat timbul penyimpangan kecil terhadap otoritarianisme. Dalam demokrasi terpimpin, pemilih dicegah untuk memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakan yang dijalankan oleh negara melalui pengefektifan teknik kinerja humas yang berkelanjutan. [3]
Istilah ini digunakan sebagai referensi untuk periode politik tertentu di Indonesia. Akhir-akhir ini istilah ini juga banyak digunakan dalam Rusia, di mana ia diperkenalkan ke dalam praktek umum oleh pemikir dari anggota Kremlin, khususnya Gleb Pavlovsky. [4]

0 komentar: