Budaya Sunda dikenal dengan
budaya yang sangat menjujung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter
masyarakat sunda, ramah tamah (
someah), murah senyum lemah lembut dan sangat menghormati
orang tua. Itulah
cermin budaya dan
kultur masyarakat sunda. Di dalam
bahasa Sunda diajarkan bagaimana menggunakan
bahasa halus untuk
orang tua.
Kebudayaan
Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang
berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa sekalipun,
kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif
lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya tulis.
"Kegemilangan" kebudayaan Sunda di
masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda,
dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam
memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda.
Kebudayaan Sunda yang ideal pun kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan raja-raja Sunda atau tokoh yang diidentikkan dengan raja Sunda.
Dalam kaitan ini, jadilah sosok Prabu Siliwangi dijadikan sebagai tokoh
panutan dan kebanggaan urang Sunda karena dimitoskan sebagai raja Sunda
yang berhasil, sekaligus mampu memberikan kesejahteraan kepada
rakyatnya.
Dalam
perkembangannya yang paling kontemporer, kebudayaan Sunda kini banyak
mendapat gugatan kembali. Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda
pun sering kali mencuat ke permukaan. Apakah kebudayaan Sunda masih
ada? Kalau masih ada, siapakah pemiliknya? Pertanyaan seputar eksistensi
kebudayaan Sunda yang tampaknya provokatif tersebut, bila dikaji dengan
tenang sebenarnya merupakan pertanyaan yang wajar-wajar saja. Mengapa
demikian? Jawabannya sederhana, karena kebudayaan Sunda dalam
kenyataannya saat ini memang seperti kehilangan ruhnya atau setidaknya
tidak jelas arah dan tujuannya. Mau dibawa ke mana kebudayaan Sunda
tersebut?
Setidaknya
ada empat daya hidup yang perlu dicermati dalam kebudayaan Sunda,
yaitu, kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan
berkembang, serta kemampuan regenerasi. Kemampuan beradaptasi kebudayaan
Sunda, terutama dalam merespons berbagai tantangan yang muncul, baik
dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan memperlihatkan tampilan
yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti
tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari
luar.
Akibatnya,
tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan
Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing. Sebagai contoh paling jelas,
bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas urang Sunda tampak secara
eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya
para generasi muda Sunda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa
Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan
"keterbelakangan", untuk tidak mengatakan primitif. Akibatnya, timbul
rasa gengsi pada urang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam
pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa "gengsi" ini terkadang ditemukan
pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda,
termasuk untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau
berlatar belakang keahlian di bidang bahasa Sunda.
Apabila
kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda memperlihatkan tampilan yang
kurang begitu menggembirakan, hal itu sejalan pula dengan kemampuan
mobilitasnya. Kemampuan kebudayaan Sunda untuk melakukan mobilitas, baik
vertikal maupun horizontal, dapat dikatakan sangat lemah. Oleh
karenanya, jangankan di luar komunitas Sunda, di dalam komunitas Sunda
sendiri, kebudayaan Sunda seringkali menjadi asing. Meskipun ada unsur
kebudayaan Sunda yang memperlihatkan kemampuan untuk bermobilitas, baik
secara horizontal maupun vertikal, secara umum kemampuan kebudayaan
Sunda untuk bermobilitas dapat dikatakan masih rendah sehingga
kebudayaan Sunda tidak saja tampak jalan di tempat tetapi juga berjalan
mundur.
Berkaitan
erat dengan dua kemampuan terdahulu, kemampuan tumbuh dan berkembang
kebudayaan Sunda juga dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang tidak
kalah memprihatinkan. Jangankan berbicara paradigma-paradigma baru,
iktikad untuk melestarikan apa yang telah dimiliki saja dapat dikatakan
sangat lemah. Dalam hal folklor misalnya, menjadi sebuah pertanyaan
besar, komunitas Sunda yang sebenarnya kaya dengan folklor, seberapa
jauh telah berupaya untuk tetap melestarikan folklor tersebut agar tetap
"membumi" dengan masyarakat Sunda.
Kalaulah
upaya untuk "membumikan" harta pusaka saja tidak ada bisa dipastikan
paradigma baru untuk membuat folklor tersebut agar sanggup berkompetisi
dengan kebudayaan luar pun bisa jadi hampir tidak ada atau bahkan
mungkin, belum pernah terpikirkan sama sekali. Biarlah folklor tersebut
menjadi kenangan masa lalu urang Sunda dan biarkanlah folklor tersebut
ikut terkubur selamanya bersama para pendukungnya, begitulah barangkali
ucap urang Sunda yang tidak berdaya dalam merawat dan memberdayakan
warisan leluhurnya.
Berkenaan
dengan kemampuan regenerasi, kebudayaan Sunda pun tampaknya kurang
membuka ruang bagi terjadinya proses tersebut, untuk tidak mengatakan
anti regenerasi. Budaya "kumaha akang", "teu langkung akang", "mangga
tipayun", yang demikian kental melingkupi kehidupan sehari-hari urang
Sunda dapat dikatakan menjadi salah satu penyebab rentannya budaya Sunda
dalam proses regenerasi. Akibatnya, jadilah budaya Sunda gagap dengan
regenerasi.
Generasi-generasi
baru urang Sunda seperti tidak diberi ruang terbuka untuk berkompetisi
dengan sehat, hanya karena kentalnya senioritas serta "terlalu majunya"
pemikiran para generasi baru, yang seringkali bertentangan dengan
pakem-pakem yang dimiliki generasi sebelumnya. Akibatnya, tidaklah
mengherankan bila proses alih generasi dalam berbagai bidang pun
berjalan dengan tersendat-sendat.
Bila
pengamatan terhadap daya hidup kebudayaan Sunda melahirkan
temuan-temuan yang cukup memprihatinkan, hal yang sama juga terjadi
manakala tiga mustika mutu hidup kreasi Rendra digunakan untuk
menjelajahi Kebudayaan Sunda, baik itu mustika tanggung jawab terhadap
kewajiban, mustika idealisme maupun mustika spontanitas. Lemahnya
tanggung jawab terhadap kewajiban tidak saja diakibatkan oleh minimnya
ruang-ruang serta kebebasan untuk melaksanakan kewaijiban secara total
dan bertanggung jawab tetapi juga oleh lemahnya kapasitas dalam
melaksanakan suatu kewajiban.
Hedonisme
yang kini melanda Kebudayaan Sunda telah mampu menggeser parameter
dalam melaksanakan suatu kewajiban. Untuk melaksanakan suatu kewajiban
tidak lagi didasarkan atas tanggung jawab yang dimilikinya, tetapi lebih
didasarkan atas seberapa besar materi yang akan diperolehnya apabila
suatu kewajiban dilaksanakan. Bila ukuran kewajiban saja sudah bergeser
pada hal-hal yang bersifat materi, janganlah berharap bahwa di dalamnya
masih ada apa yang disebut mustika idealisme. Para hedonis dengan
kekuatan materi yang dimilikinya, sengaja atau tidak sengaja, semakin
memupuskan idealisme dalam kebudayaan Sunda. Akibatnya, jadilah betapa
sulitnya komunitas Sunda menemukan sosok-sosok yang bekerja dengan penuh
idealisme dalam memajukan kebudayaan Sunda.
Berpijak
pada kondisi lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda,
timbul pertanyaan besar, apa yang salah dengan kebudayaan Sunda? Untuk
menjawab ini banyak argumen bisa dikedepankan. Tapi dua di antaranya
yang tampaknya bisa diangkat ke permukaan sebagai faktor berpengaruh
paling besar adalah karena ketidakjelasan strategi dalam mengembangkan
kebudayaan Sunda serta lemahnya tradisi, baca, tulis , dan lisan (baca,
berbeda pendapat) di kalangan komunitas Sunda.
Ketidakjelasan
strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji dalam mengembangkan
kebudayaan Sunda tampak dari tidak adanya "pegangan bersama" yang lahir
dari suatu proses yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tentang
upaya melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas kebudayaan
Sunda. Kebudayaan Sunda tampaknya dibiarkan berkembang secara liar,
tanpa ada upaya sungguh-sungguh untuk memandunya agar selalu berada di
"jalan yang lurus", khususnya manakala harus berhadapan dengan
kebudayaan-kebudayaan asing yang galibnya terorganisasi dengan rapi
serta memiliki kemasan menarik. Berbagai unsur kebudayaan Sunda yang
sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan, bahkan untuk dijadikan
model kebudayaan nasional dan kebudayaan dunia tampak tidak mendapat
sentuhan yang memadai. Ambillah contoh, berbagai makanan tradisional
yang dimiliki urang Sunda, mulai dari bajigur, bandrek, surabi, colenak,
wajit, borondong, kolontong, ranginang, opak, hingga ubi cilembu,
apakah ada strategi besar dari pemerintah untuk mengemasnya dengan lebih
bertanggung jawab agar bisa diterima komunitas yang lebih luas. Kalau
Kolonel Sanders mampu mengemas ayam menjadi demikian mendunia, mengapa
urang Sunda tidak mampu melahirkan Mang Ujang, Kang Duyeh, ataupun Bi
Eha dengan kemasan-kemasan makanan tradisional Sunda yang juga mendunia?
Lemahnya
budaya baca, tulis, dan lisan ditengarai juga menjadi penyebab lemahnya
daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah
menyebabkan lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas
Sunda secara tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya
budaya tulis dari bangsa Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini
adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun
karya tulis yang ditulis oleh urang Sunda. Dalam kaitan ini, upaya
Yayasan Rancage untuk memberikan penghargaan dalam tradisi tulis perlu
mendapat dukungan dari berbagai elemen urang Sunda. Sayangnya, hingga
saat ini pertumbuhan tradisi tulis pada urang Sunda masih tetap
terbilang rendah.
Sumber : http://tamanmini.com http://adatdanbudayasunda.blogspot.com/